Rabu, 10 Agustus 2011

campak






MAKALAH
PENYAKIT CAMPAK























KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Penyakit Campak“.
Makalah ini diajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Konsep Dasare IPA. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis.
2. Ibu Weni selaku dosen mata kuliah Pengembangan Konsep Dasar IPA.
3. Orang tua yang selalu mendukung setiap aktivitas penulis.
4. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.



Penulis







DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
D. Manfaat Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyakit Campak 2
B. Gejala Penyakit Campak 3
C. Penularan Penyakit Campak 5
D. Pencegahan Penyakit Campak 6
E. Perawatan Penderita Campak 10
F. Pemberantasan Penyakit Campak 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 15
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak menyerang anak-anak. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan kematian. Sangat diperlukan wawasan mengenai penyakit ini agar masyarakat dapat segera mengenalinya saaat terjadi penyakit ini. Oleh karena itu, kami menyusun makalah yang berjudul “Penyakit Campak” yang akan membahas berbagai masalah mengenai penyakit campak.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah penyakit campak itu?
2. Bagaimana gejala penyakit campak?
3. Bagaimana penularan penyakit campak?
4. Bagaimana pencegahan penyakit campak?
5. Bagaimana perawatan penderita campak?
6. Apa saja tahapan pemberantasan penyakit campak?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang penyakit campak.
2. Mengetahui gejala-gejala pada penyakit campak.
3. Mengetahui cara penularan penyakit campak.
4. Mengetahui cara pencegahan penyakit campak.
5. Mengetahui cara perawatan penderita campak.
6. Mengetahui tahapan pemberantasan penyakit campak.

D. Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan, baik penulis maupun pembaca mengenai penyakit campak.
2. Menambah wawasan mengenai pencegahan penyakit campak.
3. Menambah wawasan mengenai penanganan kasus campak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Campak
“Tampek merupakan bahasa Jawa namun istilah Indonesianya adalah campak. Sedangkan orang dari Irian menyebutnya serampah. Dalam bahasa latin disebut sebagai morbili atau rubeolla. Sementara dalam bahasa Inggris, measles,” tutur spesialis anak dari RS MH Thamrin Internasional, Jakarta, dr. Asti Praborini, SpA.
Menurut Soegijanto (2008) penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus penyakit campak yang sangat menular pada anak-anak. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus, genus morbili. Penyakit ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan kematian. Kejadian mengenai penyakit ini sangat berkaitan dengan keberhasilan program imunisasi campak.
Campak merupakan penyakit serius yang mudah ditularkan melalui udara. Tingkat penularan infeksi campak sangat tinggi sehingga sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa). Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi campak.
Penyakit ini biasanya akan sembuh dengan sendirinya dan diketahui bahwa seseorang hanya akan terkena penyakit ini sekali seumur hidup. Sesuai dengan sifat alami penyakit campak yang monotipik, yaitu hanya terdiri dari satu tipe saja, setelah pemberian imunisasi campak seharusnya seorang anak akan kebal seumur hidup. Namun ada beberapa kasus mengenai anak yang dinyatakan terkena penyakit campak oleh dokter, padahal orang tuanya telah melakukan imunisasi campak pada anak tersebut.
Dengan kemajuan teknologi mutakhir dibidang biologi molekuler, yaitu dengan ditemukannya alat untuk menentukan urutan DNA (DNA sequencing), ternyata walaupun virus campak bersifat monotipik, tapi ternyata terdiri dari beberapa genotip (yaitu keadaan genetik dari suatu individu sel atau organisme). Sampai saat ini, WHO telah mendapatkan 24 genotip campak diseluruh dunia, dan ada 3 genotip di Indonesia, yaitu genotip G2, G3 dan D9. Dengan pendekatan epidemiologi molekuler, dapat diketahui bagaimana penyebaran virus campak dari suatu tempat ke tempat lain atau dari suatu negara ke negara lain (mobilization of population).
Pada suatu penelitian yang telah dilakukan, ditemukan ada 2 genotip di pulau Jawa, yaitu genotip G3 dan D9. Dengan adanya 2 genotip ini, dapat menerangkan mengapa seorang anak yang telah terkena campak, dapat terkena campak lagi bila dia terinfeksi dengan virus campak dari genotip lainnya.

B. Gejala Penyakit Campak
Masa inkubasi penyakit campak berlangsung sekitar 10-12 hari, pada tahap ini anak yang sakit belum memperlihatkan gejala dan tanda sakit.
Penampilan klinis penyakit campak dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu :
1. Fase pertama ( fase prodormal ) timbul gejala yang mirip dengan penyakit flu, seperti tubuh terasa demam dan menggigil dengan suhu 38-40 derajat Celcius, lelah, batuk, hidung beringus, mata merah berair dan sakit, pada mulut muncul bintik putih (bercak Koplik) dan kadang disertai mencret. Bercak Koplik ini berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum, dikelilingi oleh eritema, dan berlokalisasi di mukosa mulut.Bercak ini biasanya muncul menjelang akhir stadium kataral (prodomal) dan 24 jam sebelum timbul enantem.
2. Fase kedua ( fase erupsi ), ditandai dengan munculnya bercak merah dan gatal seiring dengan demam tinggi yang terjadi. Ruam tersebut mulai dari belakang telinga, leher, dada, muka, tangan, kaki. Biasanya bercak menyebar hingga seluruh tubuh dalam waktu 4-7 hari. Bila bercak merah sudah keluar, demam akan turun dengan sendirinya.

3. Fase ketiga (fase konvalesens), bercak merah ini makin lama menjadi kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi), lalu rontok atau sembuh dengan sendirinya. Periode ini merupakan masa penyembuhan yang butuh waktu sampai 2 minggu.
Sampai sepertiga penderita campak mengalami komplikasi, yang termasuk infeksi telinga, diare dan pneumonia, dan mungkin memerlukan rawat inap. Kira-kira satu dari setiap 1000 penderita campak terkena ensefalitis (pembengkakan otak). Biasanya komplikasi terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 tahun dan anak-anak dengan gizi buruk.
Komplikasi dapat terjadi karena virus campak menyebar melalui aliran darah ke jaringan tubuh lainnya. Yang paling sering menimbulkan kematian pada anak adalah kompilkasi radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi ini bisa terjadi cepat selama berlangsung penyakitnya.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul diantaranya :
1. Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas, yang bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distres pernafasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan membaik dan gejala akan menghilang.
2. Bronkopneumonia
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun infeksi bakteri. Ditandai dengan batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus.
Gambaran infiltrat pada foto toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Di negara sedang berkembang dimana malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit pneumonia bakteri biasa terjadi dan dapat menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik.


3. Kejang Demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat ruam keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai kejang demam.
4. Ensefalitis
Merupakan penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari ke 4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dalam 1000 kasus campak, dengan mortalitas antara 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak.
Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi (keadaan lemah, tidak ada dorongan untuk melakukan kegiatan), koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuklear, peningkatan protein ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.
5. Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
SSPE merupakan kelainan degeneratif susunan saraf pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya pernah menderita campak adalah 0.6-2.2 per 100.000 infeksi campak. Risiko terjadi SSPE lebih besar pada usia yang lebih muda, dengan masa inkubasi rata-rata 7 tahun.
Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku dan intelektual yang progresif, diikuti oleh inkoordinasi motorik, kejang umumnya bersifat mioklonik. Laboratorium menunjukkan peningkatan globulin dalam cairan serebrospinal, antibodi terhadap campak dalam serum (CF dan HAI) meningkat (1:1280). Tidak ada terapi untuk SSPE. Rata-rata jangka waktu timbulnya gejala sampai meninggal antara 6-9 bulan.
6. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase prodormal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Dapat pula timbul enteropati yang menyebabkan kehilangan protein (protein losing enteropathy).

C. Penularan Penyakit Campak
Penyebaran virus campak maksimal adalah melalui percikan ludah (droplet) dari mulut selama masa prodormal (stadium kataral). Penularan terhadap penderita rentan sering terjadi sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi menular pada hari ke 9-10 sesudah pemajanan, pada beberapa keadaan dapat menularkan hari ke 7. Virus campak ini dapat hidup dan berkembang biak pada selaput lender tenggorokan, hidung, dan saluran pernafasan.
Campak merupakan salah satu infeksi manusia yang paling mudah ditularkan. Berada di dalam kamar yang sama saja dengan seorang penderita campak dapat mengakibatkan infeksi.
Penderita campak biasanya dapat menularkan penyakit dari saat sebelum gejala timbul sampai empat hari setelah ruam timbul. Waktu dari eksposur sampai jatuh sakit biasanya adalah 10 hari. Ruam biasanya timbul kirakira 14 hari setelah eksposur. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.

D. Pencegahan Penyakit Campak
1. Menghindari kontak dengan penderita.
2. Menjaga kebersihan lingkungan.
3. Menjaga daya tahan tubuh.
Rajin berolahraga, makan makanan yang sehat, dan istirahat yang cukup.
4. Imunisasi campak.
Imunisasi campak adalah salah satu dari 5 imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah bagi balita. Vaksin campak dapat diberikan saat anak berusia 9 bulan atau lebih. Walaupun vaksinasi Campak tidak menghindarkan 100% si anak dari campak di kemudian hari, namun anak yang telah divaksinasi umumnya memiliki gejala dan komplikasi yang ringan jika terkena kedua penyakit tersebut kelak. Jadi vaksinasi masih merupakan pendekatan penting bagi penanganan primer dari penyakit campak, khususnya bagi anak.
Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit campak secara aktif. Vaksin campak yang beredar di Indonesia dapat diperoleh dalam bentuk kemasan kering tunggal atau dalam kemasan kering kombinasi dengan vaksin gondong dan rubella. Kemasan ini dikenal dengan nama vaksin MMR (Measles-Mumps-Rubella). Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun.
Pada tahun 1963 telah dibuat dua macam vaksin campak, yaitu (1) vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonstone B) dan (2) vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminiun). Sejak tahun 1967 vaksin yang berasal dari virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan lagi oleh karena efek proteksinya hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan gejala atypical measles yang hebat.
Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1.100 TCID-50 atau sebanyak 0.5 ml. Tetapi dalam hal vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID-50 saja mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Cara pemberian yang dianjurkan adalah subkutan (penyuntikan di bawah kulit), walaupun dari data yang terbatas dilaporkan bahwa pemberian secara intramuscular (penyuntikan ke dalam otot rangka, sejauh mungkin dengan syaraf utama) tampaknya mempunyai efektivitas yang sama dengan subkutan.















Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif, dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir dari ibu yang telah kebal. Penelitian terbaru menunjukkan bayi rentan terhadap penyakit campak saat berusia 2-3 bulan hingga mendapatkan imunisasi pertamanya, karena kekebalan tubuh yang didapat dari ibunya sudah berkurang.
Penelitian ini berdasarkan catatan medis dari 207 perempuan sehat dan bayinya di lima rumah sakit Belgia pada tahun 2006. Hasil penelitian ini sudah diterbitkan secara online pada 18 Mei 2010 dalam British Medical Journal (BMJ). Berdasarkan penelitian ini diketahui perempuan yang telah tertular penyakit campak dalam kehidupannya menjadi lebih kebal dan bisa memberikan perlindungan lebih pada bayinya, dibandingkan dengan perempuan yang telah divaksinasi tapi belum pernah terkena penyakit ini.
Tapi perlindungan yang berasal dari ibu hanya berlangsung pada bulan pertama hingga ke empat untuk semua perempuan sehingga perlu untuk dilakukan imunisasi campak.
Program imunisasi campak di Indonesia dimulai tahun 1982, dan pada tahun 1991 Indonesia telah mencapai imunisasi dasar lengkap (Universal Child Immunization=UCI) secara nasional; meskipun demikian masih ada beberapa daerah yang cakupan imunisasi campaknya masih rendah sehingga sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak.
Tabel pemberian imunisasi pada bayi










Vaksin harus diupayakan agar tidak menimbulkan efek samping yang berat, dan jauh lebih ringan dari gejala klinis penyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal, namun dengan kemajuan teknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang efektif dan relative aman. Reaksi simpang dikenal sebagai kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau Adverse Events Following Immunization. KIPI ini adalah kejadian medic yang berhubungan dengan imunisasi, baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kasual yang tidak dapat ditentukan. Dibawah ini merupakan table gejala klinis :
















Untuk efek samping atau KIPI dari vaksin MMR berupa :
a. Demam lebih dari 39,5 derajat Celcius yang terjadi pada 5% - 15% kasus, demam dijumpai pada hari ke-5 samapi ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.
b. Kejang demam.
c. Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari.
d. Memar karena berkurangnya trombosit.
e. Infeksi virus campak pada imunodefisiensi, seperti penderita HIV.
f. Reaksi KIPI berat dapat menyerang system syaraf, yang reaksinya diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunsasi.
Gejala syok anafilaktik :
a. Terjadi mendadak
b. Gejala klasik : kemerahan merata, edem
c. Urtikaria, sembab pada kelopak mata, sesak, nafas berbunyi
d. Jantung berdebar kencang
e. Tekanan darah menurun
f. Anak pingsan / tidak sadar
g. Dapat pula terjadi langsung berupa tekanan darah menurun dan pingsan tanpa didahului oleh gejala lain.
Tindakan untuk syok anafilaktik :
a. Suntikan adrenalin 1:1000, dosis 0,1 – 0,3 ml, sk/im
b. Jika pasien membaik dan stabil dilanjutkan dengan suntikan deksametason (1 ampul) secara intravena/intramaskular.
c. Segera pasang infuse NaCl 0,9%
d. Rujuk ke Rumah Sakit terdekat.

E. Pengobatan dan Perawatan Penderita Penyakit Campak
Pasien campak tanpa penyulit dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan. Sedangkan pada campak dengan penyulit, pasien perlu dirawat inap. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi sistem pernafasan, diperlukan perbaikan keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai. Vitamin A 100.000 IU per oral diberikan satu kali, apabila terdapat malnutrisi diberikan 1500 IU tiap hari.
Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi penyulit yang timbul, yaitu:
1. Bronkopneumonia
Diberikan antibiotik ampisillin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral. Antibiotik diberikan sampai tiga hari demam reda. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberkulin dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin biasanya negatif (anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed hipersensitivity disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu fungsinya.
2. Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi.
3. Ensefalopati/Ensefalitis
Perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga ¾ kebutuhan untuk mengurangi edema otak, di samping pemberian kortikosteroid berupa deksametason 1 mg/kg/hari sebagai dosis awal dilanjutkan 0.5 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari dilakukan tappering off). Perlu dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.
Selain itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam perawatan penderita campak, yaitu :
1. Penderita infeksi campak biasanya dinasihati untuk beristirahat, minum banyak cairan dan minum parasetamol untuk merawat demam.
2. Vitamin A dengan dosis tertentu sesuai usia anak juga dapat diberikan untuk meringankan perjalanan penyakit campak agar tidak menjadi parah.
3. Tempatkan penderita campak dalam kamar yang terpisah selama masa penularan.
4. Jaga kebersihan tubuh anak dengan tetap memandikannya. Namun selama suhu badan masih panas, anak yang menderita campak tidak perlu dimandikan. Cukup bersihkan dengan handuk yang dibasahi air hangat.
5. Beri penderita asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah dicerna, karena anak campak rentan terjangkit infeksi lain, seperti radang tenggorokan, flu, atau lainnya. Masa rentan ini masih berlangsung sebulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh penderita yang masih lemah.
6. Lakukan pengobatan yang tepat dengan berkonsultasi pada dokter.

F. Tahapan Pemberantasan Penyakit Campak
Pemberantasan campak meliputi beberapa tahapan, dengan criteria pada tiap tahap yang berbeda-beda.
1. Tahap Reduksi
Tahap reduksi penyakit campak dibagi dalam 2 tahap, yaitu :
a. Tahap Pengendalian Campak
Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi sebesar 80%, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4-8 tahun.
b. Tahap Pencegahan KLB
Pada tahap ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relative panjang.
Reduksi campak bertujuan menurunkan angka insidens campak sebesar 90% dan angka kematian campak sebesar 95% dari angka sebelum program imunisasi campak dilaksanakan. Di Indonesia, tahap reduksi campak diperkirakan dengan insiden menjadi 50/10.000 balita, dan kematian 2/10.000 (berdasarkan SKRT tahun 1982).
Pada TCG Meeting di Dakka tahun 1999, Indonesia sedang berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan KLB. Reduksi campak mempunyai strategi yaitu:
a. Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9-11 bulan dan anak Sekolah Dasar Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan Imunisasi Tambahan atau Suplemen.
b. Surveilans Campak.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).
Surveilans penyakit campak dilakukan untuk menilai perkembangan program pemberantasan campak dan menentukan strategi pemberantasannya terutama di daerah.
Surveilans dalam reduksi campak di Indonesia masih belum sebaik surveilans eradikasi polio. Kendala utama yang dihadapi adalah, kelengkapan data/laporan rutin Rumah Sakit dan Puskesmas yang masih rendah, beberapa KLB campak yang tidak terlaporkan, pemantauan dini (SKD – KLB) campak pada desa-desa berpotensi KLB pada umumnya belum dilakukan dengan baik terutama di Puskesmas, belum semua unit pelayanan kesehatan baik Pemerintah maupun Swasta ikut berkontribusi melaporkan bila menemukan campak. Dukungan dana yang belum memadai, terutama untuk melaksanakan aktif surveilans ke Rumah Sakit dan pengembangan surveilans campak pada umumnya. Surveilans campak sangat penting untuk menilai perkembangan pemberantasan campak dan untuk menentukan strategi pemberantasannya di setiap daerah.













Tujuan khusus surveilans:
1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit disease burden) pada populasi
4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan
5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).

c. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Manajemen Kasus
d. Pemeriksaan Laboratorium

Dalam upaya reduksi campak di Indonesia, secara epidemiologis ada 2 jenis wilayah rawan yang perlu penanganan khusus:
a. Reservoar : desa dengan kasus campak yang terjadi terus-menerus sepanjang tahun.
b. Kantong : kelompok sasaran yang masih rentan karena cakupan imunisasi campak rendah ( <80%) dalam 3 tahun terakhir. 2. Tahap Eliminasi Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi ( > 90%), dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (suspectible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi tambahan.
3. Tahap Eradikasi
Pada tahap ini, cakupan imunisasi sudah tinggi dan merata, kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputus. Amerika Serikat merupakan salah satu Negara yang telah mencapai tahap eliminasi.







BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit campak merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Paramysovirus. Penyakit ini sangat mudah menular melalui udara. Penyakit ini berbahaya karena dapat menimbulkan komplikasi yang berakibat pada kematian. Pencegahan penyakit ini sangat efektif dilakukan dengan vaksinasi campak sehingga orang yang telah disuntik memiliki kekebalan terhadap penyakit ini.

B. Saran
1. Masyarakat harus melakukan vaksinasi campak pada bayinya yang berusia 9 bulan agar terhindar dari penyakit campak.
2. Masyarakat perlu menjaga daya tahan tubuh dan membentuk pola hidup sehat agar terhindar dari berbagai penyakit.











DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B., dkk. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: Kanisius.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Jakarta: Depkes RI.
Kerjasama Direktorat Jenderal PPM & PL Depkes RI dan PATH. 2005. Modul Pelatihan Safe Injection.
Mansjoer, Arif M,, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Muchlastriningsih, Enny. 2005. Kecenderungan Kasus Campak Selama Empat Tahun (1997-2000) di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. No. 148: 35-36.
Panitia Pekan Imunisasi Nasional Tingkat Pusat. 1997. Petunjuk Teknis Imunisasi Campak.
Priyono, Yunisa. 2010. Merawat Bayi Tanpa Baby Sitter. Yogyakarta: Medpress.
Setianingrum, Findra. 2010. Campak;Manifestasi Klinis-Tatalaksana. Artikel Imiah Kedokteran. (Online), (http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiah-kedokteran/kulit/2010/11/27/campak-manifestasi-klinis-tatalaksana/ , diakses 13 Maret 2011).
Setiati, Eni. 2009. Mengenal Penyakit Balita. Yogyakarta: Medika.
Supartini, Yupi. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wijayakusuma, M. Hembing. 2008. Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit. Jakarta: Pustaka Bunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar